Apa enaknya jadi guru? Gaji kecil, pandangan terbatas pada
tembok-tembok kelas dan tak menantang!
Barangkali banyak orang-orang yang berpikiran seperti itu pada profesi
guru.
Termasuk aku sendiri, dulu (belasan tahun yang lalu) pun berpikiran
demikian.
Guru sering dianggap sebagai profesi "kelas dua"
dibandingkan dokter. Meski sekarang,
seiring dengan semakin sempitnya lahan pekerjaan ditambah iming-iming
tunjangan
sertifikasi, banyak yang berlomba-lomba menjadi guru, termasuk para
sarjana yang
notabene bukan sarjana kependidikan.
Menjadi seorang guru, tak sekedar menjadi pengajar di depan kelas,
sekedar
metransfer materi pelajaran kepada siswanya. Menjadi seorang guru, tak
hanya dibatasi
papan tulis, tembok ruang kelas, dan nilai-nilai siswa. Ada banyak hal
menantang
yang terjadi dan menarik untuk dipelajari.
Sudah 10 tahun aku berprofesi sebagai guru SMA. Banyak hal-hal yang
aku dapatkan dari
siswa-siswaku dan menjadikan aku belajar banyak hal karenanya.
Pengalaman seorang
guru di tiap tingkatan sekolah tentu berbeda bukan? Seorang guru SD
pasti punya cerita
tersendiri yang tak sama dengan guru SMA. Lantas, hal apa yang manarik
menjadi guru SMA?
Salah satunya adalah ketika kita menyelami kehidupan mereka dan masuk
dalam pola pikir mereka.
Usia antara 15 - 18 tahun adalah usia seorang remaja yang tengah
mencari jati diri.
Mereka perlahan meninggalkan fase ABG-nya. Emosi yang fluktuatif
mewarnai
kepribadian mereka yang berada di golongan usia ini. Pada usia
ini keberanian dan rasa
penasaran akan sesuatu hal semakin kuat, termasuk untuk hal-hal yang
dianggap
melanggar norma.Pemikiran-pemikiran mereka tak jarang pula sudah mulai
memasuki fase dewasa.
Dalam perjalanan waktu menekuni profesi ini, banyak sekali peristiwa
yang
membuat aku harus 'masuk' ke dalam wilayah emosi mereka. Tentunya
memaksaku
untuk sedikit mundur ke belakang, mengingat kembali masa-masa remaja
untuk
menyelami pikiran mereka. Bagi aku pribadi, ini penting. Karena dengan
memposisikan
diri di 'fase' mereka, komunikasi bisa lebih terbuka dibanding jika
aku hanya sekedar
memposisikan diri sebagai 'orang tua' di sekolah.
Tak jarang aku ikut tersenyum dan tertawa, mendengar celoteh mereka
yang sedang jatuh cinta. Ah, tak salah bila orang bilang masa paling
indah
adalah masa SMA. Atau mendengar semangat mereka yang menggebu-gebu
menapaki
jalan menuju masa depan. Binar keceriaan di mata mereka tak jarang
membuatku
ingin kembali ke masa itu... (ah...mungkin jika benar-benar ada mesin
waktu ya...).
Namun tak semua hal indah yang aku
temukan pada diri mereka.
Banyak pula hal-hal yang mebuatku merasa sesak di dada diiringi
ketakjuban yang luar biasa. Kok bisa ya, seumur mereka mengalami hal
demikian?
Sekolah tempatku bertugas berada pada lingkungan yang sebagaian besar
masyarakatnya
berada pada garis ekonomi menengah ke bawah. Entah berapa puluh kali
bahkan
mungkin beratus kali, telingaku mendengar derita mereka karena
persoalan ekonomi
dan keluarga. Sudah kekurangan, tak jarang mereka masih menjadi korban
keegoisan orang tua.
Entah karena orang tuanya bercerai, atau karena tak jelas keberadaan
orang tuanya ada dimana.
Banyak dari mereka yang bertahan dengan kompleksitas kehidupannya
dan menjadi 'pemenang'. Dari mereka inilah aku belajar, bagaimana
bertahan
dengan ketangguhan yang mengagumkan. Dari mereka inilah aku menemukan
satu wujud rasa syukur dengan cara sederhana.
Tapi sebagian dari mereka ada pula yang kalah dengan keadaan dan
menyerah.
Keadaan yang tak jarang membuat mereka mudah terseret pada sesuatu
yang tidak semestinya. Rasa iri karena ketiadaan yang ada pada mereka,
bisa berdampak
sedemikian jauh. Meski baru kutemui kali ini pada seorang siswaku,
tapi cukuplah membuatku
bagai dipukul palu godam. Seorang siswaku ada yang terprovokasi SARA
dan
hampir berkelahi dengan seorang guru yang beda agama dan suku! Oh,
God!
Kejadian yang berawal dari razia hp (apakah ada konten porno atau
tidak di dalamnnya),
dan hp satu siswaku tersebut kedapatan ada gambar yang dianggap
melanggar peraturan
sekolah, sehingga yang bersangkutan berurusan dengan guru BP. Tapi
entah mengapa, siswaku
yang sehari-hari bekerja sebagai kuli pasir seusai pulang sekolah ini
kemudian
tersinggung, dan penuh emosi. "HP saya jelek-jelek seperti itu
hasil keringat sendiri, Pak!
Gambar yang di dalam bukan dapat saya, tapi dari sananya karena saya
beli HP second!"
Begitu teriaknya saat itu. Hingga kemudian pertengkaran antara guru
dan siswaku terjadi
tepat di depanku! Spontan, aku melerai mereka, menarik siswaku menjauh
begitu aku dengar
kalimat-kalimatnya tentang rekanku yang menyangkut persoalan agama.
Entah mengapa
siswaku merembetkan masalah hingga ke persoalan agama dan suku. Tapi
mendengar
kalimat-kalimatnya, membuatku sadar, bahwa masih ada masyarakat yang
mempersoalkan
perbedaan ini. Apalagi ketika mereka terlilit persoalan semacam
ekonomi. Rasa iri,
sempitnya pola pikir, keegoisan untuk diakui namun enggan mengakui
yang lain, menjadi
semacam "pupuk" pertikaian. Inilah barangkali yang kemudian
menghinggapi para pelaku
anarkis di bumi ini. Kebencian tumbuh tanpa kedewasaan pola pikir yang
sungguh mengerikan.
Berjam-jam aku mengajaknya berdialog, membukakan mata hatinya, bahwa
perbedaan itu indah jika kita membuatnya indah! Perbedaan akan menjerumuskan
kita ke neraka jika kita menganggapnya sebagai neraka. Ya, ketiadaan membuatnya
membabi buta dengan sesuatu yang keliru.
infolebih lanjut :
Telp/Wa : 082314151107
Ayo berprestasi bersama LPGTK Tadika Puri Cabang Terdekat!
Website Pendaftaran http://lpgtklandak.site123.me/
Komentar
Posting Komentar